Sunday, September 28, 2008

ROYAL TASTE, Coffee and Lounge

Hari ini (20/09/08), sebelum ke Bogor, gue jalan dulu dengan Siska dan Lia, temen kosan gue. Rute yang ditempuh yaitu Ratu Plaza di jalan Sudirman, kemudian Plaza Semanggi dan berakhir di ITC Kuningan di Jalan Prof. Dr. Satrio.

Setelah hape yang gue cari dapet, gue pulang ke kosan ambil laptop dan baju. Siska dan Lia tetep di ITC Kuningan. Dari kosan, gue cabut ke stasiun Manggarai, naek ojek. Kereta ekonomi AC yang gue tumpangi melintas pukul 03.05. Gue tiba di stasiun pukul 02.55. Kereta penuh dan gue pun berdiri dari Manggarai hingga Bogor. Hiks..

Sore ini gue janjian buka puasa bareng sama Techa. Gue tiba di Botani Square pukul setengah lima dan Techa baru datang sekitar pukul setengah enam sore. Techa telat hampir satu jam karena terjebak macet di Talang. Hampir satu jam gue nunggu Techa di Gramedia. Baca buku tentang Barrack Obama.

Menu yang gue dan Techa pilih untuk buka puasa kali ini yaitu Soto kaki sapi bang Kumis di warung tenda depan fakultas hukum Universitas Pakuan. Gue pilih otak, babat dan irisan daging pipi sapi. Hm..hmm enak sekali. Soto kaki sapi Bang Kumis  ini mengingatkan gue dengan soto kaki sapi yang terletak di ujung Jalan Dipati Ukur, sebelah bank BCA di Bandung. Sama enaknya. Untuk satu mangkok soto kaki sapi panas, nasi dan segelas es teh manis hanya delapan belas ribu rupiah.

Setalah kenyang, gue dan Techa beranjak ke daerah Taman Kencana. Namun tidak satu pun kafe yang berjajar disana menarik minat gue dan Techa untuk singgah. Ngopi di Collonial bosan. Ke Telapak males juga. Udah terlalu sering ke sana. Akhirnya mobil kembali dipacu Techa ke arah Jalan Pajajaran. Techa usul untuk nongkrong di Dimsum Teracce. Gue seh ayuk – ayuk aja mau kemana juga. Secara kalo untuk wilayah Bogor, gue gak gaul banget. He..he..Parkir di depan Papa Rons, di pojok ada sebuah Kafe. Di papan nama tertulis ROYAL TASTE Coffee and Lounge. Techa usul untuk mampir kesana. Kata Techa dia belum pernah ke sana.

Akhirnya gue dan Techa masuk ke Royal Taste tersebut. Ternyata itu sebuah kafe dengan desain interior Victorian. Klasik. Cuma ada 4 tamu yang duduk di kafe tersebut termasuk gue dan Techa. Dua orang lagi duduk di bagian depan kafe. Di sebelah kanan pintu masuk kafe.

Gue minta buku menu makanan ke pelayan kafe. Kami masih soft launching, buku menunya belum tersedia. Saya sebutkan aja menu yang tersedia. Minuman andalan kami yaitu Extreme Toffe Coffee. Selain itu ada juga pure chocolate. Cake bisa dipilih sendiri di sana. Pelayan tersebut menunjuk ke etalase yang ada di tempat kasir.  Gue dan Techa kaget mendengar penjelasan pelayan tersebut. Gue pesen Pure Chocolate dan Techa pesen Extreme Toffe Coffee.

Gue iseng tanya sama pelayan yang lain apakah bisa autodebet atau tidak. Gue dan Techa tambah kaget kalo di kafe ini belom bisa auto debet. Gue dan Techa gak berani pesen makanan yang lain. Di dompet gue cuma ada uang tujuh puluh ribu rupiah dan di dompet Techa cuma ada empat puluh ribu rupiah. Hiks. Merana deh gue sama Techa. Kebiasaan kalo nongkrong pake autodebet. Di kafe itu juga ada Zuppa Zuppa. Tapi gue gak berani pesen. Takut uang tunai yang ada di dompet gak cukup.

Kemudian seorang mbak – mbak mampir ke meja gue. Dia memperkenalkan dirinya Nila (kalo enggak salah denger). Dia bilang hari ini adalah hari pertama soft launching Royal Taste. Gue dan Techa adalah tamu pertama kafe ini. Sedikit tersanjung. Marketing atau owner, mbak? He..he..he..Dua orang yang duduk di depan adalah temennya mbak Nila. Jadi gak pure tamu yang memang sengaja datang ke kafe ini. 

Gue pun bertanya sama Mbak Nila kenapa kafe ini mengusung tema Victorian di saat kafe – kafe lain mengusung tema minimalis. Menurut mbak Nila, Victorian itu abadi. Dari zaman dulu kala sampe sekarang, victorian masih menjadi pilihan.

Pesenan gue dan Techa datang. Segelas Extreme Toffe Coffee dan Pure Chocolate. Penyajian minuman ini cukup menarik. Segera gue dan Techa menyeruput minuman itu. Kalo menurut gue pure chocolate yang disajikan enak. Gue coba icipin pesenan Techa. Menurut gue dan Techa, extreme Toffe Coffee ini rasanya standar.

Ketika minta bill kepada pelayan, gue dan Techa deg – degan. Semoga pembayaran tidak melebihi uang yang ada di dompet. Betapa leganya gue dan Techa, pay amount yang tertera di bill sebesar Rp. 54.000 saja untuk extreme Toffe Coffe dan Pure Chocolate. Dan benar kata mbak Nila, gue dan Techa adalah tamu pertama. Di bill tertulis CHECK: 00001. 

Menurut mbak NIla, ke depannya kafe ini akan menyediakan free hotspot (semoga bener – bener free, gak kayak the colonial yang kudu beli voucher).

Namun secara garis besar, kafe ini bisa dijadikan tempat alternatif untuk nongkrong – nongkrong jika sedang berada di Bogor. Tempat di desain sangat nyaman. Di bagian belakang tersedia sebuah TV layar lebar.  Sofa yang disediakan besar dan empuk. Dan yang paling gue seneng, kaca di mana – mana he..he.. jadi bisa ngaca. Royal Taste terletak di jalan Pajajaran No. 26 Bogor dan bisa dihubungi di nomor 0251 – 8383204.

One Day in Bali

Hotel Melasti, Kuta Bali, 10 September 2008

Bali memang gak ada matinya. Kalo gue boleh memilih, gak akan lagi gue ke Bali pada waktu bulan puasa. Gak enak.

Sekali lagi gue pergi sendiri untuk tugas luar kota. Second time for this year in Bali. Kenapa Bali? He..he.. Ini karena salah satu grantee proyek yang gue tangani berada di sini. Gue berangkat dari Jakarta naik Garuda Indonesia pukul 19.55 dan sampe di hotel tengah malam. Sebelum tiba di Bali, gue sudah booking hotel. Hotel tempat gue menginap ini merupakan rekomendasi mamanya Wira, temen gue. Tadinya gue berniat untuk menginap di hotel keluarganya Wira di daerah Jimbaran. Tapi ternyata hotel tersebut penuh hingga minggu depan. Atas rekomendasi dan harga sangat spesial dari mamanya Wira, gue menginap di Hotel Melasti, jalan Kartika Plaza. Tepatnya di sebelah Hotel Kartika Paradiso.  Gue gak tau bagaimana cara mamanya wira bisa dapet harga murah banget untuk tipe kamar yang gue tempati. Ketika check in, gue iseng aja tanya berapa harga normal kamar yang gue pesen. Terkejut. Harga kamar yang gue tempati di atas lima ratus ribu rupiah. Secara gue bayar cuma 300.000 aja satu malam. Terima kasih ya tante….

 Sarapan pagi diganti sahur. Sedihnya sahur pagi ini. Gue sahur bertiga dengan dua orang bapak – bapak yang juga tamu hotel.  Tidak ada azan. Tidak ada suara ngaji dari mesjid. Sepi. Dan kami pun mengira – ngira, jam berapa waktu shubuh. LIllahi ta’ala. Yang penting niat. Begitu celetuk salah satu bapak – bapak tersebut. Gue pun tersenyum kecut. Yang lebih menyedihkan gue, menu sahur yang dihidangkan sama sekali tidak menggugah selera makan gue di pagi ini. Tapi gue harus makan. Hik..hik…

Setelah sholat shubuh gue kembali tidur. Gue bangun pukul delapan waktu bali. Sms dari mas Teddy, ketemu di lobi hotel pukul sepuluh pagi. Yang artinya gue punya waktu luang  dua jam pagi ini. Gue  bergegas mandi, kemudian cabut ke Kuta. Dari hotel Melasti ini hanya butuh sekitar sepuluh menit jalan kaki untuk sampe ke pantai kuta.  

Setelah transfer uang ke Mbak Ernie, gue duduk di pasir pantai Kuta dengan alas seadanya. Sebuah brosur bank Danamon yang gue ambil ketika transfer uang untuk Mbak Ernie. Pasir pantai Kuta tidak seputih pasir di pantai Trikora  pulau Bintan. Sedikit kotor (menurut gue).

Gue pun mengamati sekeliling pantai sambil menikmati debur ombak yang berulang kali menghempas bibir pantai. Cukup banyak turis yang datang, tidak hanya mancanegara, tapi juga wisatawan lokal.  Ada satu perbedaan wisatawan lokal dan mancanegara yang sedikit konyol buat gue. Wisatawan mancanegara pergi ke pantai untuk berjemur. Dengan pakaian seadanya (baju renang one piece dan two pieces), mereka mencari sinar matahari. Dimana ada sinar matahari, disanalah mereka berjemur. Sangat berbeda dengan wisatawan lokal yang mencari keteduhan. Dimana ada pohon, di bawah situlah wisatawan lokal duduk. .. he..he..

Kembali ke hotel, gue meeting sama mas Teddy sampe sore. Setelah selesai dengan mas Teddy, gue cabut lagi ke Kuta. Ceritanya seh gue pengen liat sunset di pantai Kuta yang terkenal itu. Sayang, sekali lagi gue kurang beruntung. Mendung. Matahari enggan untuk menampakkan dirinya. Tertutup awan gelap. Samar – samar warna oranye terlihat malu – malu dari balik awan kelabu. Semoga ini pertanda bahwa gue akan kembali ke Kuta ini.

Tidak ada azan. Tidak ada suara ngaji dari mesjid. Gue pun berbuka puasa di salah satu tempat makan di Kuta.  Karena pengalaman gue yang enggak enak waktu sahur kemaren, gue menyempatkan diri ke Circle K untuk membeli pop mie dan beberapa cemilan lain. Ini untuk sahur.  

Gue kembali ke hotel.  Sholat magrib. Then I don’t know what to do. Gue coba istirahat di kamar. Namun mata ini tetap terjaga. Gue turun ke lobby dan duduk di resto hotel. Resto ini terletak di sisi kiri lobby hotel. Persis di tepi jalan, Ada live music. Pengunjungnya di dominasi bule. Tua, muda bahkan anak – anak.  Laptop tetap setia menemani gue. Menikmati music sambil mengerjakan back to office Report gue. Hiks,,,

Malam kian larut. Musik terus menghentak.  Di sebelah meja gue duduk tiga bule cewek. Dua orang dewasa dan satu orang anak kecil. Dari pertama kali duduk di resto, anak kecil bule tersebut menjadi perhatian gue. Cantik. Murah senyum. Pemberani.

Pertama kali dia minta mamanya untuk bilang kepada singer bahwa dia ingin menyanyi di panggung. Dan menyanyilah anak kecil tersebut di panggung. Gue salut dan gemes. Selesai menyanyi, dia ingin menari. Diajaklah sang mama untuk ikut menari. Mereka bolak balik antara meja dan lantai dansa. Sang mamih, sudah tidak terlalu tertarik untuk menari. Dia lebih tertarik untuk mengobrol dengan teman sebayanya di meja, di sebelah meja gue. Dan anak kecil itu pun menari seorang diri di lantai dansa.

Ketika anak kecil tersebut dipanggil oleh sang mami untuk kembali ke mejanya, gue colek anak kecil itu dari belakang. Gue tersenyum dan ajak kenalan. Namanya Tansya. Gue gak tau bener atau tidak ejaan itu. Tapi nama itu yang terdengar di telinga gue. Tansya berasal dari Rusia. Umurnya 4 tahun. Kalo kata sang mama, bulan Januari tahun depan, umur Tansya genap lima tahun. Setelah itu gue minta ijin sama sang mami untuk mengabadikan foto Tansya di kamera gue. Gue duduk di kafe hingga pukul setengah dua belas waktu Indonesia tengah. Setelah itu gue kembali ke kamar.   

Hari ini (11/09/08), pukul setengah empat waktu Indonesia tengah gue terjaga. Air di botol aqua yang tersedia di kamar hotel,  gue panasin dengan water heater yang tersedia di kamar hotel. Water heater ini biasanya digunakan jika tamu ingin minum kopi atau teh di kamar. Tapi buat gue pagi ini, water heater ini untuk memanaskan air guna pop mie, menu sahur gue pagi ini. Menyedihkan banget, sahur hanya dengan pop mie.  Setelah selesai makan pop mie, gue turun ke resto hotel dan minum segelas orange juice fresh. Setelah itu gue kembali ke kamar. Siap – siap untuk kembali ke Jakarta pagi ini.

Pesawat yang gue tumpangi lepas landas menuju Jakarta pukul tujuh pagi. Gue duduk di deket jendela. Di sebelah gue duduk dua orang bule Jepang. Mereka makan pagi dengan lahapnya, sedangkan gue puasa hiks…

Namun dalam perjalanan pulang ke Jakarta kali ini, gue sangat senang sekali. Gue bisa mengabadikan momen pesawat Garuda Indonesia yang gue tumpangi terbang di dekat gunung bromo. Langsung tangan gue reflek mengambil kamera digital yang memang sengaja gue persiapkan ketika pesawat lepas landas. Beberapa foto gunung Bromo dan gunung – gunung yang disekitarnya gue dokumentasikan. Subhanallah, gue takjub melihatnya. Indah. Hope someday I’ll be in Bromo.  

Friday, September 5, 2008

Second Trip to Tanjung Pinang

Well, akhirnya gue punya waktu senggang untuk menulis tentang perjalanan gue kedua kalinya ke kota Tanjung Pinang , Kepulauan Riau. Lebih baik terlambat sedikit untuk menuliskan catatan perjalanan ini, daripada perjalanan ini hilang tak berjejak.

Hari ini (20/08/08), sekitar pukul 18.45 pesawat Sriwijaya yang gue tumpangi lepas landas menuju Tanjung Pinang. Seharusnya seh kalo liat jadwal ditiket, gue lepas landas itu pukul 18.10. Telat sekitar setangah jam.  Yup, Inilah kali kedua kunjungan gue ke Tanjung Pinang dan sekaligus untuk pertama kalinya gue pergi tugas luar kota seorang diri (biasanya gue tugas keluar kota minimal dua orang dari kantor termasuk gue). Waktu tempuh Jakarta – Tanjung Pinang sekitar satu jam lebih sedikit. Sekitar pukul delapan gue mendarat di bandara. Dari bandara gue langsung menuju hotel.

Rencana perjalanan dirancang hanya untuk tiga hari dua malam, dimana kegiatan training yang harus gue pantau ada di hari kedua. So, jadwal gue akan menjadi sangat padat. Malam pertama, gue sampe di Tanjung Pinang sudah malam. Di hari kedua gue harus memantau training dari pagi hingga sore. Dan kalo melihat tiket pulang yang sudah gue kantongi, jadwal gue kembali ke Jakarat adalah di hari ketiga gue di Tanjung Pinang dengan jadwal pesawat pukul 07.00 pagi lepas landas menuju Jakarta. Enggak banget kan jadwalnya.

Tapi, kepadatan jadwal tidak menghalangi gue untuk melihat keindahan kota Tanjung Pinang ini. Sebuah propinsi baru dengan keindahan pemandangan yang mungkin belum banyak diketahui orang.

Ketika perjalanan pertama gue ke Tanjung Pinang, sore hari setelah acara, gue dan rombongan ke Pulau Penyengat. Namun kali ini gue pergi sendirian. Hanya ada dua alternatif waktu senggang yang gue punya, yaitu waktu pagi, sebelum kegiatan di mulai, dan malam hari ketika kegiatan sudah selesai. Kegiatan dimulai pukul sembilan pagi dan direncanakan selesai dipukul lima sore. Biasanya selesainya acara akan sedikit ngaret. Gue sedikit bingung juga. Setibanya di kamar hotel, gue pun berpikir  tempat menarik apa yang bisa gue kunjungi di tengah jadwal yang padat ini. I don’t want to spend my time in the hotel’s room.    

Pukul setengah sepuluh malam gue menelpon resepsionis hotel apakah bisa sewa mobil untuk mengantarkan gue melihat terbitnya matahari. Setelah ada kesepakatan harga dan waktu dengan pihak hotel, gue pun bersiap – siap tidur karena besok gue harus bangun shubuh untuk melihat terbitnya matahari di pantai. Berdasarkan informasi dari resepsionis hotel, pantai yang bagus untuk melihat terbitnya matahari adalah Pantai Trikora. Pantai ini sekitar satu jam dari hotel. Jarak yang cukup jauh untuk ukuran kota yang tidak mengenal macet seperti Jakarta. It’s time to sleep now.

Hari ini (21/08/08), pukul tiga dini hari, gue sudah mandi dan bersiap – siap untuk ke pantai. Setelah rapi, sekitar pukul empat pagi, gue ke lobby hotel. Ternyata sudah menunggu sopir yang akan mengantarkan gue ke Pantai Trikora. Nama bapak sopir yang mengantarkan adalah pak Bagindo. Ditemani oleh pak Bagindo dan seorang sekuriti hotel yang bernama bapak Putra, perjalanan ke Pantai Trikora pun dimulai.

Gue duduk di depan, di samping pak Bagindo supaya bisa lihat pemandangan. Sangat berbeda dengan Jakarta yang kotanya tidak pernah mati dari denyut kehidupan. Sepanjang perjalanan menuju pantai, jalanan sepi sekali.

Ketika mobil sudah memasuki kawasan pesisir pantai, mobil pun mulai memasuki kawasan lahan – lahan tanpa bangunan yang penuh dengan semak – semak, pohon - pohon dan rumput yang sudah mulai meninggi. Hanya sedikit sekali rumah warga yang bisa ditemui. Gue agak serem juga. Secara gue cewek dan sendiri pula.  Namun gue percaya, niat gue kan cuma mau liat terbitnya matahari. I believe GOD will take care of me until I come back to the hotel.  Amien.

Namun jangan dipikir lahan – lahan itu hanya lahan kosong. Di antara semak belukar yang mulai meninggi, gue bisa lihat bahwa tanah – tanah ini sudah di kapling alias sudah ada yang punya. Ada satu plang yang gue lihat bahwa pemilik tanah adalah orang Surabaya. Sebuah investasi masa depan yang cukup bagus menurut gue. Andai aja gue punya banyak uang ha..ha..ha..

Ketika memasuki kawasan pantai Trikora, gue disambut oleh sebuah gapura yang bertuliskan  SELAMAT DATANG. Di sisi kanan dan kiri gapura bertuliskan Desa Malang Rapat dan P3DK.

Akhirnya sekitar pukul lima lebih sepuluh menit gue sampe juga di Pantai Trikora. Masih gelap dan sepi.

Tak lama setelah gue sampe di pantai, serombongan motor  datang ke pantai. Mereka juga sama seperti gue, datang untuk melihat terbitnya matahari. Gue sedikit terhibur. Setidaknya gue tidak sendiri banget di pantai ini. Menurut pak Bagindo, pemuda – pemudi di provinsi ini memang biasa seperti itu. Mereka pergi rombongan dengan mengendarai motor untuk ke pantai.   

Gue duduk di pantai dengan beralaskan koran. Untuk ke pantai ini gue gak mempersiapkan apapun. Gue cuma bawa dompet, hape dan kamera digital he..he..Gue menunggu hingga pukul setengah enam, sedikit  cahaya matahari muncul, namun setelah itu awan mendung menghalangi. Sedihnya gue, gagal sudah rencana gue untuk melihat terbitnya matahari. Pak Bagindo pun bilang bahwa gue kurang beruntung karena mendung jadi gak bisa liat sun rise dan mungkin juga ini tandanya Mbak disuruh kembali ke sini lagi he..he.. bisa – bisanya si bapak satu ini menghibur gue.

Akhirnya gue jalan – jalan di sekitar pantai Trikora ini hingga pukul tujuh pagi. Matahari sudah terlihat meninggi. Hiks, mendungnya pun berangsur – angsur menghilang. Namun kekecewaan gue tidak lama. Setelah hari sedikit terang, tidak segelap ketika pertama kali gue tiba, gue bisa menyaksikan pasir putih menghampar  luas di pantai. Di tambah air laut sedang surut, garis pantai pun semakin melebar ke tengah laut.  It was very beautiful beach. Pantai ini masih alami dan bersih. Kalo gue di suruh memilih antara kuta Bali dengan pantai ini, untuk saat ini gue akan bilang kalo pantai ini jauh lebih bagus. Ini dia salah satu bukti kealamian dan kecantikan pantai Trikora ini.

 Menurut gue, pantai ini adalah sebuah potensi wisata yang belum diperbaharui dan bisa dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah oleh Pemda Kabupaten Bintan. Namun menurut keterangan dari pak Bagindo, waktu itu sudah ada investor yang berniat untuk mengelola pantai ini, namun masyarakat sekitar belum memberikan izin untuk wilayah ini diperbaharui. Mereka menginginkan pantai itu tetap alami seperti saat ini.

Sebuah dilemma untuk pemerintah daerah. Di satu sisi hal ini akan menambah pendapatan daerah dan membuka lapangan pekerjaan baru di daerah ini, namun di sisi lain, jika sudah terlalu banyak tangan manusia ikut campur, seperti kita ketahui, kealamian pantai ini tidak akan lagi bisa ditemui.

Ini dia hasil foto – foto gue. Klik di SINI dan di SINI

Setelah cukup puas melihat dan memandangi pantai Trikora, sekitar pukul tujuh pagi lebih, mobil hotel yang gue tumpangi beranjak pulang. Suasana berbeda gue temui. Jalan – jalan yang gue lalui tidak lagi sepi seperti tadi ketika berangkat. Denyut kehidupan sudah mulai terasa. Masyarakat sudah memulai aktivitasnya.  

Di sepanjang jalan pulang pak Bagindo banyak bercerita tentang daerah yang sedang dilalui. Ketika melewati sebuah batu besar yang tergeletak di tepi jalan, pak Bagindo bercerita bahwa batu tersebut tidak bisa dipindahkan. Pemerintah daerah ketika membuat jalan yang di lalui ini pernah mencoba untuk memindahkan batu tersebut, namun tidak satu pun alat yang digunakan berhasil untuk mengangkat batu tersebut.Akhirnya batu tersebut dibiarkan tergeletak di tepi jalan. Ini dia batu tersebut.

Tidak jauh dari batu tersebut, terdapat sebuah bangunan. Menurut pak Bagindo, bangunan itu adalah hotel pertama di daerah deket pantai Trikora ini. Nama hotel tersebut adalah Bunga Tanjung. Berdasarkan cerita yang beredar, hotel ini tidak lagi pernah ditempati sejak penjaga hotel meninggal bunuh diri. Penjaga hotel tersebut adalah seorang wanita. Konon katanya wanita tersebut bunuh diri karena hamil di luar nikah. Karena sang lelaki tidak mau bertanggung jawab namun malah pergi meninggalkan wanita tersebut,  akhirnya wanita tersebut bunuh diri dengan cara menggantungkan diri. Dan masih katanya lagi, wanita itu terkadang suka menampakkan dirinya pada saat – saat tertentu. Oleh karena itu ketika melewati jembatan yang ada di deket hotel tersebut, pak Bagindo meng-klakson beberapa kali. Katanya seh ini sebagai tanda minta izin untuk melewati daerah deket hotel tersebut. 

Cerita tentang masalah – masalah yang agak – agak mistik dan out of my mind ini berlanjut ketika melewati sebuah hotel dengan gaya arsitektur campuran antara arsitektur bali dengan arsitektur minimalis. Dari gapura hotel tersebut bisa dilihat bahwa itu adalah gapura khas bali. Dan sekali lagi masih cerita pak Bagindo yang konon katanya hotel tersebut tidak laku karena tamu yag menginap di sana dibuat tidak betah oleh “penunggu” tanah tersebut. Katanya hal ini dikarenakan ketika sebelum pembangunan  hotel tersebut, “penunggu” tanah  meminta tumbal, namun pemilik tidak mau karena tidak percaya hal – hal tersebut.    

Akhirnya sekitar pukul delapan gue tiba di hotel. Perut gue terasa sangat laper sekali. Setelah berterima kasih kepada pak Bagindo, gue langsung menuju restoran hotel.  Setelah dirasa cukup, gue segera ke kamar untuk ganti baju karena acara yang harus gue monitor akan mulai pada pukul Sembilan pagi. Karena di sini tidak mengenal macet seperti Jakarta, dari hotel ke tempat acara hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit.

Pukul Sembilan kurang lima menit gue sudah tiba di tempat acara, di Lembaga Pelayanan secara Elektronik (LPSE) Kepulauan Riau. Ternyata masih sedikit sekali peserta training yang datang. Untuk mengisi waktu gue berbincang – bincang dengan Pak Ruly dan Mbak Neri tentang perkembangan proyek. Akhirnya acara baru di mulai sekitar pukul sepuluh pagi.

Dan akhirnya jam makan siang pun tiba. Gue diajak Pak Ruly dan rekan kerja yang lain untuk makan di rumah makan Tanjung. Dan sekali lagi gue melihat kobokan yang unik itu. Dalam catatan perjalanan gue pertama kali ke Tanjung Pinang, gue pernah membahas tentang kobokan yang sangat unik ( menurut gue). Ini dia kobokan yang unik itu. Kobokan paling mewah yang pernah gue liat he..he…

Setelah selesai makan siang, kegiatan training kembali dimulai hingga pukul enam sore. Benar perkiraan gue, acara pasti molor dari rencana semula he..he..he..

Malam hari gue diajak ke Melayu Square yang terletak di tepi pantai oleh Mbak Neri.

Melayu Square ini seperti food court di alam terbuka. Angin yang berhembus cukup dingin. Karena sudah di Tanjung Pinang, gue tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk makan gonggong. Siput laut. Hmm..hm..terasa enak sekali dicocol dengan sambel yang sudah disediakan. Ini dia yang disebut dengan gonggong.

Setelah makan malam, gue langsung menuju hotel. Tidur.

Hari ini (22/08/08), gue kembali ke Jakarta dengan pesawat Sriwijaya.

Dan seperti biasa, jadwal di tiket pesawat yaitu pukul tujuh lepas landas menuju Jakarta. Namun pada faktanya gue baru lepas landas pukul setengah delapan pagi. Back to the office