Well, akhirnya gue punya waktu senggang untuk menulis tentang perjalanan gue kedua kalinya ke kota Tanjung Pinang , Kepulauan Riau. Lebih baik terlambat sedikit untuk menuliskan catatan perjalanan ini, daripada perjalanan ini hilang tak berjejak.
Hari ini (20/08/08), sekitar pukul 18.45 pesawat Sriwijaya yang gue tumpangi lepas landas menuju Tanjung Pinang. Seharusnya seh kalo liat jadwal ditiket, gue lepas landas itu pukul 18.10. Telat sekitar setangah jam. Yup, Inilah kali kedua kunjungan gue ke Tanjung Pinang dan sekaligus untuk pertama kalinya gue pergi tugas luar kota seorang diri (biasanya gue tugas keluar kota minimal dua orang dari kantor termasuk gue). Waktu tempuh Jakarta – Tanjung Pinang sekitar satu jam lebih sedikit. Sekitar pukul delapan gue mendarat di bandara. Dari bandara gue langsung menuju hotel.
Rencana perjalanan dirancang hanya untuk tiga hari dua malam, dimana kegiatan training yang harus gue pantau ada di hari kedua. So, jadwal gue akan menjadi sangat padat. Malam pertama, gue sampe di Tanjung Pinang sudah malam. Di hari kedua gue harus memantau training dari pagi hingga sore. Dan kalo melihat tiket pulang yang sudah gue kantongi, jadwal gue kembali ke Jakarat adalah di hari ketiga gue di Tanjung Pinang dengan jadwal pesawat pukul 07.00 pagi lepas landas menuju Jakarta. Enggak banget kan jadwalnya.
Tapi, kepadatan jadwal tidak menghalangi gue untuk melihat keindahan kota Tanjung Pinang ini. Sebuah propinsi baru dengan keindahan pemandangan yang mungkin belum banyak diketahui orang.
Ketika perjalanan pertama gue ke Tanjung Pinang, sore hari setelah acara, gue dan rombongan ke Pulau Penyengat. Namun kali ini gue pergi sendirian. Hanya ada dua alternatif waktu senggang yang gue punya, yaitu waktu pagi, sebelum kegiatan di mulai, dan malam hari ketika kegiatan sudah selesai. Kegiatan dimulai pukul sembilan pagi dan direncanakan selesai dipukul lima sore. Biasanya selesainya acara akan sedikit ngaret. Gue sedikit bingung juga. Setibanya di kamar hotel, gue pun berpikir tempat menarik apa yang bisa gue kunjungi di tengah jadwal yang padat ini. I don’t want to spend my time in the hotel’s room.
Pukul setengah sepuluh malam gue menelpon resepsionis hotel apakah bisa sewa mobil untuk mengantarkan gue melihat terbitnya matahari. Setelah ada kesepakatan harga dan waktu dengan pihak hotel, gue pun bersiap – siap tidur karena besok gue harus bangun shubuh untuk melihat terbitnya matahari di pantai. Berdasarkan informasi dari resepsionis hotel, pantai yang bagus untuk melihat terbitnya matahari adalah Pantai Trikora. Pantai ini sekitar satu jam dari hotel. Jarak yang cukup jauh untuk ukuran kota yang tidak mengenal macet seperti Jakarta. It’s time to sleep now.
Hari ini (21/08/08), pukul tiga dini hari, gue sudah mandi dan bersiap – siap untuk ke pantai. Setelah rapi, sekitar pukul empat pagi, gue ke lobby hotel. Ternyata sudah menunggu sopir yang akan mengantarkan gue ke Pantai Trikora. Nama bapak sopir yang mengantarkan adalah pak Bagindo. Ditemani oleh pak Bagindo dan seorang sekuriti hotel yang bernama bapak Putra, perjalanan ke Pantai Trikora pun dimulai.
Gue duduk di depan, di samping pak Bagindo supaya bisa lihat pemandangan. Sangat berbeda dengan Jakarta yang kotanya tidak pernah mati dari denyut kehidupan. Sepanjang perjalanan menuju pantai, jalanan sepi sekali.
Ketika mobil sudah memasuki kawasan pesisir pantai, mobil pun mulai memasuki kawasan lahan – lahan tanpa bangunan yang penuh dengan semak – semak, pohon - pohon dan rumput yang sudah mulai meninggi. Hanya sedikit sekali rumah warga yang bisa ditemui. Gue agak serem juga. Secara gue cewek dan sendiri pula. Namun gue percaya, niat gue kan cuma mau liat terbitnya matahari. I believe GOD will take care of me until I come back to the hotel. Amien.
Namun jangan dipikir lahan – lahan itu hanya lahan kosong. Di antara semak belukar yang mulai meninggi, gue bisa lihat bahwa tanah – tanah ini sudah di kapling alias sudah ada yang punya. Ada satu plang yang gue lihat bahwa pemilik tanah adalah orang Surabaya. Sebuah investasi masa depan yang cukup bagus menurut gue. Andai aja gue punya banyak uang ha..ha..ha..
Ketika memasuki kawasan pantai Trikora, gue disambut oleh sebuah gapura yang bertuliskan SELAMAT DATANG. Di sisi kanan dan kiri gapura bertuliskan Desa Malang Rapat dan P3DK.
Akhirnya sekitar pukul lima lebih sepuluh menit gue sampe juga di Pantai Trikora. Masih gelap dan sepi.
Tak lama setelah gue sampe di pantai, serombongan motor datang ke pantai. Mereka juga sama seperti gue, datang untuk melihat terbitnya matahari. Gue sedikit terhibur. Setidaknya gue tidak sendiri banget di pantai ini. Menurut pak Bagindo, pemuda – pemudi di provinsi ini memang biasa seperti itu. Mereka pergi rombongan dengan mengendarai motor untuk ke pantai.
Gue duduk di pantai dengan beralaskan koran. Untuk ke pantai ini gue gak mempersiapkan apapun. Gue cuma bawa dompet, hape dan kamera digital he..he..Gue menunggu hingga pukul setengah enam, sedikit cahaya matahari muncul, namun setelah itu awan mendung menghalangi. Sedihnya gue, gagal sudah rencana gue untuk melihat terbitnya matahari. Pak Bagindo pun bilang bahwa gue kurang beruntung karena mendung jadi gak bisa liat sun rise dan mungkin juga ini tandanya Mbak disuruh kembali ke sini lagi he..he.. bisa – bisanya si bapak satu ini menghibur gue.
Akhirnya gue jalan – jalan di sekitar pantai Trikora ini hingga pukul tujuh pagi. Matahari sudah terlihat meninggi. Hiks, mendungnya pun berangsur – angsur menghilang. Namun kekecewaan gue tidak lama. Setelah hari sedikit terang, tidak segelap ketika pertama kali gue tiba, gue bisa menyaksikan pasir putih menghampar luas di pantai. Di tambah air laut sedang surut, garis pantai pun semakin melebar ke tengah laut. It was very beautiful beach. Pantai ini masih alami dan bersih. Kalo gue di suruh memilih antara kuta Bali dengan pantai ini, untuk saat ini gue akan bilang kalo pantai ini jauh lebih bagus. Ini dia salah satu bukti kealamian dan kecantikan pantai Trikora ini.
Menurut gue, pantai ini adalah sebuah potensi wisata yang belum diperbaharui dan bisa dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah oleh Pemda Kabupaten Bintan. Namun menurut keterangan dari pak Bagindo, waktu itu sudah ada investor yang berniat untuk mengelola pantai ini, namun masyarakat sekitar belum memberikan izin untuk wilayah ini diperbaharui. Mereka menginginkan pantai itu tetap alami seperti saat ini.
Sebuah dilemma untuk pemerintah daerah. Di satu sisi hal ini akan menambah pendapatan daerah dan membuka lapangan pekerjaan baru di daerah ini, namun di sisi lain, jika sudah terlalu banyak tangan manusia ikut campur, seperti kita ketahui, kealamian pantai ini tidak akan lagi bisa ditemui.
Ini dia hasil foto – foto gue. Klik di SINI dan di SINI
Setelah cukup puas melihat dan memandangi pantai Trikora, sekitar pukul tujuh pagi lebih, mobil hotel yang gue tumpangi beranjak pulang. Suasana berbeda gue temui. Jalan – jalan yang gue lalui tidak lagi sepi seperti tadi ketika berangkat. Denyut kehidupan sudah mulai terasa. Masyarakat sudah memulai aktivitasnya.
Di sepanjang jalan pulang pak Bagindo banyak bercerita tentang daerah yang sedang dilalui. Ketika melewati sebuah batu besar yang tergeletak di tepi jalan, pak Bagindo bercerita bahwa batu tersebut tidak bisa dipindahkan. Pemerintah daerah ketika membuat jalan yang di lalui ini pernah mencoba untuk memindahkan batu tersebut, namun tidak satu pun alat yang digunakan berhasil untuk mengangkat batu tersebut.Akhirnya batu tersebut dibiarkan tergeletak di tepi jalan. Ini dia batu tersebut.
Tidak jauh dari batu tersebut, terdapat sebuah bangunan. Menurut pak Bagindo, bangunan itu adalah hotel pertama di daerah deket pantai Trikora ini. Nama hotel tersebut adalah Bunga Tanjung. Berdasarkan cerita yang beredar, hotel ini tidak lagi pernah ditempati sejak penjaga hotel meninggal bunuh diri. Penjaga hotel tersebut adalah seorang wanita. Konon katanya wanita tersebut bunuh diri karena hamil di luar nikah. Karena sang lelaki tidak mau bertanggung jawab namun malah pergi meninggalkan wanita tersebut, akhirnya wanita tersebut bunuh diri dengan cara menggantungkan diri. Dan masih katanya lagi, wanita itu terkadang suka menampakkan dirinya pada saat – saat tertentu. Oleh karena itu ketika melewati jembatan yang ada di deket hotel tersebut, pak Bagindo meng-klakson beberapa kali. Katanya seh ini sebagai tanda minta izin untuk melewati daerah deket hotel tersebut.
Cerita tentang masalah – masalah yang agak – agak mistik dan out of my mind ini berlanjut ketika melewati sebuah hotel dengan gaya arsitektur campuran antara arsitektur bali dengan arsitektur minimalis. Dari gapura hotel tersebut bisa dilihat bahwa itu adalah gapura khas bali. Dan sekali lagi masih cerita pak Bagindo yang konon katanya hotel tersebut tidak laku karena tamu yag menginap di sana dibuat tidak betah oleh “penunggu” tanah tersebut. Katanya hal ini dikarenakan ketika sebelum pembangunan hotel tersebut, “penunggu” tanah meminta tumbal, namun pemilik tidak mau karena tidak percaya hal – hal tersebut.
Akhirnya sekitar pukul delapan gue tiba di hotel. Perut gue terasa sangat laper sekali. Setelah berterima kasih kepada pak Bagindo, gue langsung menuju restoran hotel. Setelah dirasa cukup, gue segera ke kamar untuk ganti baju karena acara yang harus gue monitor akan mulai pada pukul Sembilan pagi. Karena di sini tidak mengenal macet seperti Jakarta, dari hotel ke tempat acara hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit.
Pukul Sembilan kurang lima menit gue sudah tiba di tempat acara, di Lembaga Pelayanan secara Elektronik (LPSE) Kepulauan Riau. Ternyata masih sedikit sekali peserta training yang datang. Untuk mengisi waktu gue berbincang – bincang dengan Pak Ruly dan Mbak Neri tentang perkembangan proyek. Akhirnya acara baru di mulai sekitar pukul sepuluh pagi.
Dan akhirnya jam makan siang pun tiba. Gue diajak Pak Ruly dan rekan kerja yang lain untuk makan di rumah makan Tanjung. Dan sekali lagi gue melihat kobokan yang unik itu. Dalam catatan perjalanan gue pertama kali ke Tanjung Pinang, gue pernah membahas tentang kobokan yang sangat unik ( menurut gue). Ini dia kobokan yang unik itu. Kobokan paling mewah yang pernah gue liat he..he…
Setelah selesai makan siang, kegiatan training kembali dimulai hingga pukul enam sore. Benar perkiraan gue, acara pasti molor dari rencana semula he..he..he..
Malam hari gue diajak ke Melayu Square yang terletak di tepi pantai oleh Mbak Neri.
Melayu Square ini seperti food court di alam terbuka. Angin yang berhembus cukup dingin. Karena sudah di Tanjung Pinang, gue tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk makan gonggong. Siput laut. Hmm..hm..terasa enak sekali dicocol dengan sambel yang sudah disediakan. Ini dia yang disebut dengan gonggong.
Setelah makan malam, gue langsung menuju hotel. Tidur.
Hari ini (22/08/08), gue kembali ke Jakarta dengan pesawat Sriwijaya.
Dan seperti biasa, jadwal di tiket pesawat yaitu pukul tujuh lepas landas menuju Jakarta. Namun pada faktanya gue baru lepas landas pukul setengah delapan pagi. Back to the office